Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Papah. Membayangkan senyum Papah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba mini drama di UBL, pah. Aku jadi the best winnernya pah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.
Papah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.Melihat wajah datar Papah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui Mama.
“Mama,” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Mama,” ulangku.
Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan mama.
Ku tinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara mama dari luar.
“Andika mau hadiah apa?”, sahut mama pada kakakku.
“Andika minta dibelikan Note Book,” jawab Andika , kakakku.
“Keinginanmu nanti mama sampaikan pada papah,” sahut mama.
“Dengan atau tanpa persetujuan papah, andika harus punya motor,” andika ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar.
“Mama, dari mana?” tanyaku.
“Dari Chandra. Andika juara satu lomba fashion di Chandra,” kata mama dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil menyalami Andika.
“Itu apa?” tanya mama melihat piala di tanganku.
“Dian juara satu lomba mini drama antar SMA tingkat provinsi,” kataku.
Mama diam.
“Boleh di pajang di lemari depan, Ma?”
Mama menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Andika,” tegas mama.
Ada perih di ujung hatiku.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di rumah Didit, teman sekolahku saat SMP dan dia sepupuku. Jarak rumah Didit hanya beberapa meter dari sekolah
“Sudah bilang sama orang tuamu, kalau mau menginap di sini?” tanya Didit.
Aku menggeleng, “Mama tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu.”
“Mama baru ribut kalau Andika yang hilang.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entah,” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Didit. Diam-diam kuseka mataku yang basah.
***
Seperti dugaanku mama tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Papah pun tak risau meski anak bujangnya tak memberi kabar.
“Didit, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi,” kataku setelah beberapa hari berselang.
“Aku sih membolehkan saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke orang tuamu,” sahut Didit.
“Tak perlu, Dit”, ujarku.
Melihat kerasku sepupuku ini tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika mama menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang mama lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Andika, saat itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Andika tak pulang mama luar biasa panik. Kemudian mama meminta papah menyusul Andika.
Ketika tiba di rumah Andika disambut bagai raja, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap remaja tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba hand phoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu mama.
“Mama masuk rumah sakit, Den,” terdengar suara Bik Nia, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.
“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa saya baru dihubungi sekarang?” potongku.
“Nomor den Dian tidak bisa dihubungi dari kemarin”, ucap Bik Nia.
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.
Saat tiba di ruangan ICU kulihat tubuh mama dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi mama saat itu.
“Mama sakit apa?” tanyaku pada papah yang memegangi lengan mama.
“Dua hari yang lalu kaki mama terpeleset saat mau ke luar kamar mandi”, ucap papah.
“Lalu…” kejarku tak sabar.
Papah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala mama pecah, darah menyembur, dokter bilang mama harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi mama belum sadar sampai sekarang.”, ucap papah.
Aku merinding mendengarnya.
***
Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi mama tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti. Kugenggam jemari mama erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir mama juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir mama.
“Dian,” ucap mama.
Aku tidak yakin pada pendengaranku.Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Andika dan papahmu?” mama bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan mama.
“Jangan!” cegah mama.
Aku berbalik.
“Saat ini mama ingin berdua saja denganmu.”
Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.
“Mama tahu kau cemburu pada Andika. Mama tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.
“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya mama hanya membuatnya untuk Andika,” kata mama dengan mata bertelaga.
Aku diam saja.
“Jika perhatian mama lebih besar pada Andika karena menurut mama Andika tak sekuat kau.”
“Mama menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Mama tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku,
“Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya,” ucap mama diantara isaknya.
Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan mama. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan mama semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati mama tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.
***
Hari ini 22 Desember. Hari jadi mama. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan mama. Mengingat saat-saat terakhir bersama mama setumpuk cemburuku pada Andika lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga mama dari atas.
“Selamat ulang tahun, Ma,” bisikku.
Penulis : Nedy Amardianto
ayo donk d komen...
BalasHapusComment... ^_^
BalasHapusmakasih ya udah mau commen.... :D (*_~)
BalasHapus